Karakter aneh “Tung Tung Tung Sahur” adalah salah satu tren fenomenal di media sosial Indonesia pada Ramadan 2025. Noxa, atau yang dikenal sebagai Noxaasht di TikTok, adalah kreator konten digital asal Indonesia yang pertama kali memperkenalkan sosok ini kepada publik.
Noxa mengunggah video Anomali Tung Tung Tung Sahur pada akhir Februari 2025, dan dalam waktu singkat karakter antropomorfik ini viral hingga ke mancanegara. Karakter tersebut berupa kentongan kayu berwarna cokelat dengan wajah, tangan, dan kaki, membawa tongkat dan memunculkan suara “tung tung tung” khas tradisi sahur.
Konsepnya diadaptasi dari tren Italian Brainrot internasional, kemudian dilengkapi dengan unsur budaya lokal, yaitu suara bedug untuk membangunkan sahur, sehingga menjadi anomali lucu sekaligus horor yang ramai dibahas. Bagi banyak orang, karakter Tung Tung Tung Sahur terasa baru dan unik karena menggabungkan elemen tradisi Ramadhan dengan kreasi AI kreatif.
Noxa adalah kreator TikTok yang fokus membuat konten-konten “brainrot” atau anomali AI yang absurd dan kocak. Ia menciptakan ‘Tung Tung Sahur’ dari ide awal berupa makhluk mistis khas sahur dan merealisasikannya melalui bantuan teknologi AI. Sebelumnya, Noxa cukup dikenal dalam komunitas digital karena mengunggah video-video unik yang mendapat banyak perhatian.
Kehadirannya makin dikenal seiring viralnya karakter Tung Tung Tung Sahur, bahkan video unggahan dengan boneka karakternya sempat diputar ulang oleh akun internasional. Meski identitas pribadinya tidak terlalu terekspos, Noxa berhasil menempatkan karyanya di peta perbincangan online. Kalian sebagai pembaca mungkin baru mendengar namanya berkat kontroversi terkini, namun Noxa telah lebih dulu menarik perhatian sebagai pelopor meme AI unik Indonesia.
Karakter Anomali Tung Tung Tung Sahur tidak digambar secara tradisional melainkan dihasilkan dengan kecerdasan buatan (AI). Noxa menyusun ide dasar tentang makhluk mistis sahur, lalu menuliskannya dalam sebuah prompt (perintah teks) untuk generator gambar AI. Sistem AI tersebut mengolah input berupa deskripsi, memadukan elemen-elemen seperti kentongan, wajah manusia, dan suasana sahur, lalu menghasilkan visual unik. Desain inilah yang kemudian diunggah Noxa sebagai video TikTok dilengkapi suara AI yang menirukan pukulan bedug “tung tung” berkali-kali. Meski proses detailnya tidak dipublikasikan, jelas bahwa Noxa berperan sebagai perintis ide dan prompt kreatif, sementara AI berperan sebagai alat kreatif untuk membuat gambar akhir.
Secara teknis, ini mirip dengan tren global di mana kreator memberikan arahan kepada model AI (seperti Stable Diffusion atau Midjourney) untuk menciptakan karya seni. Ada komentar netizen yang menekankan bahwa prompt bukan sekadar teks biasa, melainkan manifestasi ide dan visi sang kreator. Jadi meski gambar Tung Tung Sahur dihasilkan mesin, konsep awalnya tetap berasal dari Noxa. Proses seperti ini memperlihatkan kekuatan kolaborasi manusia dan mesin, manusia memberikan konsep dan konteks, sedangkan AI mengubahnya menjadi bentuk visual. Hasilnya adalah karakter Tung Tung Tung Sahur yang unik, menggabungkan budaya Indonesia (bedug sahur) dengan gaya absurd anomali AI.
Permasalahan dimulai ketika Garena Free Fire, game battle-royale populer, memperkenalkan konten bertema Tung Tung Sahur kepada pemainnya. Menurut laporan, pada pertengahan Juni 2025 Garena merilis sebuah bundle Tung Tung Sahur secara gratis dalam game untuk menarik minat pemain. Awalnya bahkan beberapa pemain bisa mengkustom karakter mereka agar mirip dengan desain anomali Noxa. Akan tetapi Noxa mengaku belum pernah dihubungi atau diberikan izin atas penggunaan karakternya ini. Ia merasa tokoh kreasinya “diambil” tanpa izin dan tanpa etika komunikasi terlebih dahulu.
Noxa pun meluapkan kekesalannya lewat media sosial. Ia mengunggah video protes di akun TikTok @noxaasht pada 16 Juni 2025, yang langsung viral. Dalam unggahannya ia menulis pesan sindiran kepada Garena: “Saya tahu ini gak bisa diklaim hak ciptanya, tapi setidaknya ada etika dong. Saya sudah chat, tapi gak dijawab. Ini game top 1 di Indonesia, loh!”. Artinya, meski ia menyadari bahwa teori hukum mungkin tak mengakui karya AI sebagai milik satu pihak, Noxa tetap berharap setidaknya sebagai sesama kreator digital patut saling menghargai. Ia mengingatkan bahwa sebagai pencetus anomali ini, minimal seharusnya ia mendapat pertimbangan atau ucapan terima kasih, bukan hanya ketidakresponan.
Ungkapan Noxa memicu perdebatan luas di kalangan netizen. Banyak orang yang langsung mengaitkan sikap Garena yang seolah tidak berkomunikasi dengan Noxa sebelumnya. Salah satu komentar netizen mencatat bahwa meski karya berbasis AI memang belum terlindungi undang-undang, proses kreatif di baliknya tetap berharga.
Selain itu, beberapa warganet menyoroti bahwa Noxa telah meluncurkan karakter ini duluan, sehingga menurut mereka secara etika ia berhak atas pengakuan minimal. Di sisi lain, ada pula yang berpendapat sebaliknya, bahwa konten hasil generative AI tidak bisa dijadikan objek hak cipta seperti karya seni biasa. Dari sinilah muncul perdebatan, apakah karakter AI memang sepenuhnya milik sang pemilik prompt, atau malah menjadi milik publik karena proses pembuatannya yang memanfaatkan aset tidak terlicensikan.
Perdebatan ini menjalar cepat di media sosial. Di satu sisi, sejumlah netizen sangat mendukung Noxa. Mereka berargumen bahwa meski gambar Tung Tung Sahur dibuat oleh AI, ide, konsep, dan prompt awal adalah buah pikirannya. “Jika gambar AI-mu dipakai oleh orang lain, kamu pasti ingin dihargai juga,” tulis seorang pengguna. Bahkan ada yang bandingkan Garena dengan perusahaan lokal yang dianggap lebih menghargainya, seperti dalam perkataan Noxa: “Kalah sama perusahaan lokal yang rela bayarin saya ke Jakarta,” sindirnya. Komentar-komentar seperti “Kami dukung lu, Bang, dibanding Garena” menunjukkan simpati yang mengalir ke arah Noxa.
Namun tidak sedikit pula pendapat kontra. Beberapa warganet mengingatkan bahwa model AI memanfaatkan jutaan gambar karya seniman tanpa izin, sehingga menuntut hak cipta dari output-nya dianggap tidak realistis. Misalnya akun pengguna menulis, “Gambar AI minta hak cipta, jir!” dan mengolok-olok ide kreator yang menggunakan AI namun kemudian ingin hak paten. Komentar lain menyoroti ironi bila orang yang “cuma ngetik prompt” marah saat karyanya dipakai tanpa izin, sementara para ilustrator asli yang karyanya justru digunakan untuk melatih AI tidak banyak bersuara. Kontroversi di platform media sosial (khususnya Twitter/X) ini bahkan sampai viral dengan tagar-tagar yang membicarakan keabsahan hak cipta karya AI.
Dari sisi hukum, persoalannya memang rumit. Hukum hak cipta Indonesia saat ini belum mengatur secara eksplisit soal karya yang dihasilkan oleh AI. Undang-undang hak cipta kita menegaskan bahwa “pencipta” adalah individu manusia atau lembaga, dan AI sebagai entitas tidak diakui sebagai pemilik hak cipta. Akibatnya, kepemilikan resmi atas desain AI seperti Tung Tung Sahur masih abu-abu. Beberapa ahli menyebut kasus ini contoh nyata kekosongan hukum tersebut.
Berbagai negara justru sudah mulai membahas aturan khusus untuk karya AI (misalnya Uni Eropa dan Jepang), karena mempertanyakan siapa yang berhak klaim hak cipta jika ada intervensi kreator manusia lewat prompt. Diskusi global ini menunjukkan kebutuhan meng-update regulasi Indonesia agar tidak tertinggal, apalagi tren konten AI semakin masif.
Sejauh ini, Garena Free Fire belum mengeluarkan pernyataan resmi apapun mengenai tuduhan tersebut. Media sosial resmi Garena maupun akun Free Fire Indonesia sempat dipenuhi komentar pemain dan netizen yang mempertanyakan izin penggunaan karakter Tung Tung Sahur. Namun pihak Garena hanya menulis pengumuman tentang event Tung Tung Sahur tanpa menyinggung asal usulnya. Hingga berita ini ditulis, pihak Garena tetap diam mengenai klaim Noxa.
Sementara itu Noxa hanya menyampaikan kekecewaannya melalui unggahan TikTok miliknya. Ia tidak melayangkan tuntutan hukum formal (mengingat memang belum ada payung hukum jelas), melainkan mengedepankan aspek etika dan penghargaan. Pada dasarnya Noxa meminta agar pencipta karya AI seperti dirinya dihargai, setidaknya dengan memberikan kredit atau izin sebelum digunakan oleh korporasi besar. Ia juga mengungkapkan bahwa sudah mencoba menghubungi pihak Garena terlebih dahulu namun tidak mendapatkan respons.
Sejauh ini, satu-satunya “tanggapan” Garena adalah desas-desus yang beredar di media sosial dan forum komunitas, namun secara resmi mereka belum memberi klarifikasi. Sementara pihak Noxa telah menyampaikan pendapatnya secara terbuka, baik lewat video TikTok maupun komentar-komentar, ia belum mengajukan langkah hukum lebih lanjut karena memang belum ada mekanisme khusus untuk karya AI ini.
Isu yang memicu polemik ini adalah masalah hak cipta untuk karya AI. Secara tradisional, hak cipta diberikan kepada pencipta manusia yang menghasilkan karya secara kreatif. Akan tetapi pada karya AI muncul kompleksitas baru, meski sang kreator memberikan ide melalui prompt, output visualnya dibuat oleh mesin tanpa campur tangan manual besar. Karena itu banyak pihak mempertanyakan apakah karya semacam ini bisa atau tidak bisa dilindungi sebagai hak cipta.
Di Indonesia, belum ada ketentuan khusus menyangkut hal ini. Undang-Undang Hak Cipta saat ini belum mengenali “karya yang diciptakan oleh AI” sebagai objek hak cipta. Dengan kata lain, secara hukum Noxa tidak bisa menuntut perlindungan hak cipta secara formal atas desain Tung Tung Sahur meski itu berakar dari idenya. Hal ini telah menjadi bahan diskusi di kalangan publik, sebagian orang berharap agar nasihat moral dan etika bisa menutupi kekosongan hukum tersebut. Mereka berargumen bahwa setidaknya kreator manusia yang menyusun prompt seharusnya tetap dihormati sebagai pemilik ide awal.
Secara global, masalah hak cipta AI memang sedang digodok. Banyak negara seperti Jepang dan Uni Eropa tengah mempertimbangkan peraturan baru agar seniman penghasil konten original tidak dirugikan oleh karya AI yang meniru gaya atau unsur-unsur tertentu tanpa izin. Kasus antara Noxa dan Garena ini pun menjadi contoh nyata kebutuhan reformasi hukum di Indonesia. Para pelaku industri kreatif Indonesia mulai menyerukan perlunya regulasi yang lebih tegas, misalnya mengatur lisensi data untuk melatih AI, atau mewajibkan perusahaan menyebut sumber ide jika menggunakan karya generatif. Sementara itu, sebagian ilustrator juga khawatir karya-karya mereka dijadikan basis data AI tanpa kompensasi, sehingga ikut terpicu untuk meminta perlindungan lebih jelas.
Kasus Noxa versus Garena ini menunjukkan betapa cepatnya teknologi mengubah lanskap kreatif kita. Di satu pihak, kreator seperti Noxa berinovasi memanfaatkan AI untuk menghasilkan karya baru yang viral. Di pihak lain, perusahaan besar seperti Garena ingin memanfaatkan tren dan kreativitas komunitas untuk memperkaya konten permainan. Kedua pihak sebaiknya menyikapi masalah ini secara profesional.
Garena, sebagai perusahaan besar, sebaiknya mempertimbangkan etik dalam penggunaan konten komunitas. Meski karya AI sering dianggap “tidak ada hak ciptanya”, alangkah baiknya jika Garena melakukan klarifikasi atau memberi kredit kepada Noxa. Hal ini bisa berupa menyisipkan ucapan terima kasih di dalam game atau media sosial, atau bahkan menjalin kerjasama konten resmi.
Bagi Noxa, penting juga menjaga pendekatan yang profesional, misalnya mengajukan keberatan melalui saluran resmi, sekaligus tidak ragu mengakui bahwa aspek hukum masih belum memihak kreator AI.
Secara praktis, berikut beberapa saran yang bisa dipertimbangkan:
Penyelesaian terbaik adalah komunikasi jujur dan terbuka. Noxa dan Garena bisa berkolaborasi agar semua pihak puas, misalnya dengan membuat event resmi yang menyertakan nama Noxa. Selain itu, publik perlu terus mendorong diskusi tentang hak cipta karya AI agar di masa depan ada kepastian hukum yang lebih adil. Dengan sikap profesional serta regulasi yang tepat, teknologi AI dapat dinikmati secara etis tanpa menimbulkan konflik berkepanjangan.