Pada Sabtu, 7 Juni 2025, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri kembali menjadi sorotan publik setelah menyatakan bahwa mereka yang tidak Pancasilais sebaiknya tidak tinggal di Indonesia. Pernyataan ini memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan. Artikel ini membahas secara mendalam konteks, isi, reaksi, dan implikasi dari pernyataan Megawati, serta memberikan wawasan tentang tantangan interpretasi ideologi Pancasila di era modern.
Latar Belakang Pernyataan Megawati
Pernyataan kontroversial itu disampaikan saat pembukaan pameran foto “Gelegar Foto Nusantara 2025” di Galeri Nasional, Jakarta. Acara tersebut dihadiri tokoh nasional seperti Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon, dan Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno. Megawati, yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), menegaskan bahwa Pancasila bukanlah sekadar simbol, melainkan panduan hidup berbangsa.
“Kalau kalian adalah Pancasilais, kalau kalian adalah warga negara Indonesia, kalau enggak, please, jangan tinggal di sini. Jadi saja imigran,” tegas Megawati.
Pernyataan ini menggemakan kembali semangat Hari Lahir Pancasila (1 Juni) dan merupakan upaya memperkuat kesadaran nasional atas lima sila yang menjadi fondasi negara.
Isi Pernyataan dan Penekanan Utama
Pancasila sebagai Prinsip Hidup Megawati menekankan bahwa Pancasila harus dipraktikkan dalam setiap aspek kehidupan—mulai dari pendidikan, tata kelola pemerintahan, hingga interaksi sosial.
Lip Service vs. Implementasi Nyata Menurutnya, banyak pihak yang hanya menjadikan Pancasila sebagai “lip service” tanpa melakukan tindakan nyata.
Warisan Bung Karno Ia mengaitkan kembali semangat proklamasi 1945 yang dipelopori oleh ayahnya, Soekarno, sebagai bukti keberanian menerapkan nilai-nilai kebangsaan.
Reaksi Publik dan Respons Politik
1. Dukungan dari Kader PDIP
Sejumlah kader PDI Perjuangan memuji ketegasan Megawati, menyebut pernyataan itu penting untuk menahan arus intoleransi dan radikalisme.
2. Kritikan Komunitas Sipil
Sebaliknya, LSM dan akademisi mempertanyakan siapa yang berhak menilai “Pancasilais” dan menyoroti potensi pelanggaran kebebasan berpendapat.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai pernyataan ini dapat mengecilkan ruang diskusi kritis.
Universitas Indonesia melalui jurude Filsafat Politik menyoroti ketidakjelasan kriteria “Pancasilais sejati”.
3. Pernyataan Pemerintah
Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memilih meredam gejolak, menegaskan bahwa Pancasila tetap terbuka untuk dialog konstruktif.
Implikasi Bagi Kebebasan Berpendapat
Batasan Kritik Politik: Jika interpretasi Pancasila dipersempit, maka kritik terhadap kebijakan publik dapat dipandang sebagai “anti-Pancasila.”
Potensi Polarisasi: Masyarakat bisa terbelah antara yang “resmi” Pancasilais dan mereka yang dianggap meragukan.
Perlunya Standar: Belum ada mekanisme resmi untuk menilai kesetiaan ideologis, sehingga rawan disalahgunakan.
Tantangan Interpretasi Ideologi Pancasila
Multikulturalisme vs. Sentralisasi Nilai Dalam masyarakat yang majemuk, interpretasi Pancasila harus inklusif, menghargai perbedaan agama dan budaya.
Generasi Milenial dan Digitalisasi Nilai-nilai Pancasila harus dijembatani ke ranah digital tanpa kehilangan esensi, misalnya melalui kurikulum daring yang interaktif.
Regulasi dan Pendidikan Perlu revisi kebijakan pendidikan kewarganegaraan untuk memasukkan studi kasus kontemporer, bukan hanya teori konvensional.
Praktik Terbaik dan Rekomendasi
Dialog Terbuka: Pemerintah dan lembaga masyarakat sipil perlu menyelenggarakan forum diskusi rutin tentang Pancasila.
Kurikulum Dinamis: Integrasi Pancasila dengan literasi digital dan hak asasi manusia.
Penegakan Hukum Adil: Kasus intoleransi harus ditangani dengan transparan, tanpa diskriminasi.
Kesimpulan
Pernyataan Megawati Soekarnoputri tentang Pancasila kembali mengingatkan kita bahwa ideologi negara memerlukan penghayatan aktif. Namun, ketegasan tanpa dialog dapat memicu perpecahan dan mengusik kebebasan berpendapat. Ke depan, keseimbangan antara semangat nasionalisme dan pluralisme mutlak diperlukan agar nilai-nilai Pancasila terus relevan di era modern.