Raja Ampat, surga biodiversitas laut di Papua Barat Daya, kini dihadapkan pada ancaman serius, pertambangan nikel di beberapa pulau kunci. Dalam sepuluh tahun terakhir, ekspansi konsesi tambang telah memicu kontroversi antara kepentingan ekonomi nasional dan upaya pelestarian lingkungan yang mendunia. Artikel ini mengupas tuntas siapa yang bertanggung jawab, pihak pemberi izin, motif di balik keputusan kontroversial, hingga konsekuensi kerusakan alam yang ditimbulkan, berdasarkan data dan pernyataan resmi.
Kontrak Karya PT Gag Nikel ditandatangani Presiden Soeharto pada 19 Januari 1998, awalnya sebagai joint venture antara BHP Billiton (75%) dan PT ANTAM (25%). Pada 2008, BHP Billiton mundur dan ANTAM mengakuisisi 100% saham, menjadikan PT Gag Nikel sepenuhnya anak perusahaan ANTAM .
Konsesi seluas 13.136 ha (6.060 ha daratan + 7.076 ha lautan) di Pulau Gag—padahal daratan pulau hanya 6.500 ha—membuktikan hampir seluruh wilayah pulau dan perairannya masuk zona tambang .
PT Gag Nikel beroperasi atas dasar beberapa dokumen legal:
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), disahkan melalui Keputusan Menteri LHK No. 02.15.05/2014.
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), berdasarkan Keputusan Kepala BKPM atas nama Menteri LHK No. 19/1/IPPKH/PMA/2015 yang berlaku hingga 2025 .
Surat Keputusan Tambang Terbuka
di kawasan hutan lindung, Keppres No. 41/2004, memberi keistimewaan operasional di wilayah yang seharusnya dilindungi .Selain Pulau Gag, konsesi tambang nikel turut diberikan kepada:
PT Kawei Sejahtera Mining di Pulau Kawei, seluas 5.922 ha (IUP 2013–2033) .
PT Anugerah Surya Pratama di Pulau Manuram dan Waigeo, total 9.365 ha + tambahan 1.167 ha di Pulau Manuram .
PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP)
di Pulau Manyaifun dan Batang Pele, 2.194 ha, dengan survei mulai September 2024 .Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan memantau kepatuhan melalui AMDAL.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan IPPKH dan menyetujui AMDAL, meski kawasan hutan lindung seharusnya terlindung dari aktivitas ekstraktif.
Bupati Raja Ampat dan Gubernur Papua Barat Daya menyetujui rekomendasi teknis dan administrasi, meski mendapat tekanan penolakan dari masyarakat adat .
PT Gag Nikel sebagai operator utama Pulau Gag, menjadi pihak yang menjalankan eksploitasi sumber daya.
PT Kawei Sejahtera, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT MRP bertanggung jawab atas eksplorasi dan rencana penambangan di pulau-pulau lain.
Permintaan Global Nikel
Kebutuhan nikel untuk baterai kendaraan listrik meningkat pesat. Pemerintah memposisikan Indonesia sebagai pemasok utama .
Pembangunan Ekonomi Lokal
Rencana peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan realisasi investasi asing disorong sebagai argumen utama.
Deregulasi dan Kepentingan Oligarki
Regulasi yang longgar—seperti izin tambang hutan lindung—dinilai menguntungkan korporasi besar, sementara dampak jangka panjang kurang diperhatikan .
Jenis Kerusakan | Dampak Utama |
---|---|
Sedimentasi Terumbu Karang | Lumpur tambang menutupi terumbu, mengurangi cahaya dan menghambat fotosintesis organisme laut . |
Pencemaran Logam Berat | Nikel larut mencemari padang lamun dan mangrove, meracuni rantai makanan laut. |
Deforestasi Pulau Kecil | Pembukaan lahan pasca tambang menghilangkan habitat satwa endemik, termasuk penyu sisik yang dilindungi. |
Abrasi dan Erosi Pantai | Hilangnya vegetasi pesisir mempercepat erosi, mengancam permukiman nelayan setempat. |
Masyarakat Adat Suku Kawei: Tegas menolak tambang di Batang Pelei, khawatir hilangnya mata pencaharian berbasis laut dan pariwisata .
Koalisi Pelaku Wisata Raja Ampat: Empat asosiasi pariwisata mendesak pencabutan izin, mengingat pariwisata ramah lingkungan menyumbang ribuan lapangan kerja lokal .
Gerakan Masyarakat Waigeo Barat (WAIBAR): Surat penolakan dari 12 kampung meminta pemerintah mencabut seluruh izin tambang .
Konflik Internal: Permunculan kelompok pro-tambang di beberapa kampung memicu ketegangan horizontal, memecah solidaritas masyarakat.
Pemerintah Pusat: Review dan pencabutan izin semestinya dilakukan jika AMDAL terbukti tidak memadai.
KLHK: Harus menegakkan fungsi pengawasan, menolak IPPKH di kawasan hutan lindung yang tak layak tambang.
PT Gag Nikel & Rekan: Wajib menjalankan prinsip “No Net Loss”, transparan dalam CSR, dan memulihkan ekosistem pasca tambang.
Investor Asing: Menekan perusahaan untuk mematuhi standar ESG (Environmental, Social, Governance) global.
Peninjauan Ulang Izin: Moratorium IUP di pulau-pulau kunci, khususnya wilayah konservasi.
Partisipasi Masyarakat: Penerapan Free, Prior and Informed Consent (FPIC) sebelum izin diterbitkan.
Penguatan Sanksi: Denda administratif dan pidana untuk pelanggaran AMDAL dan IPPKH.
Pembangunan Berkelanjutan: Diversifikasi ekonomi lokal melalui ekowisata dan akuakultur ramah lingkungan.
Konflik tambang nikel di Raja Ampat menggambarkan ketegangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan dunia. Untuk menjaga warisan alam bagi generasi mendatang, izin tambang harus dievaluasi ulang, melibatkan partisipasi penuh masyarakat adat, dan mempertimbangkan nilai ekosistem yang tidak bisa dinilai hanya dengan angka pendapatan.
Dengan langkah kolaboratif antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat, Raja Ampat dapat tetap menjadi mahkota laut Indonesia yang lestari dan berkelanjutan.
Sumber : 4 Fakta PT Gag Nikel yang Dituding Rusak Kawasan Raja Ampat