Nikel adalah unsur logam transisi yang bersifat logam berwarna putih keperak-perakan mengilap. Logam ini termasuk salah satu dari lima unsur logam paling melimpah di kerak bumi dan terkenal tahan karat. Sifat konduksi listrik dan panas nikel cukup baik, menjadikannya bahan penting dalam berbagai industri. Meskipun melimpah, nikel murni jarang ditemui di permukaan Bumi, sebagian besar ditemukan di batuan ultrabasa atau terbentuk dalam meteorit.
Nikel di alam terutama berasal dari proses nukleosintesis di bintang-bintang supernova dan sebagian besar tertimbun di inti bumi. Selama proses geologi, nikel terkumpul dalam dua tipe cadangan utama: Laterit (dalam mineral limonit dan garnierit) dan Sulfida Magmatik (dalam mineral pentlandit).
Nikel mulai digunakan manusia sejak peradaban kuno (sebagai paduan besi-nikel sejak 3500 SM) dan diidentifikasi sebagai unsur sendiri oleh Cronstedt tahun 1751. Nama “Nikel” berasal dari kata dalam mitologi Jerman yang berarti peri nakal, karena bijih nikel sering dikira tembaga namun tidak dapat dimurnikan menjadi tembaga.
Saat ini, nikel banyak ditemui dalam bentuk bijih seperti Limonit, Pentlandit, dan Silikat kaya nikel (garnierit). Hal yang unik: nikel adalah salah satu dari empat elemen feromagnetik alami (bersama besi, kobalt, dan gadolinium), dan menjadi unsur kunci dalam paduan baja tahan karat (stainless steel).
Nikel terbentuk jauh sebelum Bumi ada, dalam ledakan bintang supernova. Debu kosmik mengandung campuran besi-nikel yang akhirnya membentuk inti Bumi yang kaya nikel. Dalam proses pendinginan planet, sebagian besar nikel tertarik ke dalam inti Bumi karena sifat siderofiliknya (suka berasosiasi dengan besi). Akibatnya, keberadaan nikel di kerak Bumi relatif kecil. Di permukaan Bumi, nikel ditemukan sebagai hasil pelapukan batuan ultrabasa (laterit) atau dalam deposit sulfida ultrabasa.
Di Indonesia misalnya, cadangan nikel laterit tersebar luas di Pulau Sulawesi, Maluku (termasuk Halmahera), Papua, dan Kalimantan. Cadangan terbanyak diperkirakan berada di Sulawesi dan Halmahera. Kehadiran nikel dalam meteorit juga menguatkan asal-usul kosmiknya; studi menunjukkan nikel dalam meteorit terbentuk bersama besi dari supernova.
Nikel sangat dicari karena perannya dalam berbagai produk industri dan teknologi modern. Berikut beberapa penggunaan utamanya:
Baja Tahan Karat (Stainless Steel): Sekitar 65% nikel global digunakan untuk membuat baja tahan karat. Baja tahan karat banyak dipakai di peralatan dapur, konstruksi, dan manufaktur karena ketahanan korosinya.
Paduan Superalloy: Sekitar 12% nikel digunakan untuk paduan superalloy (misalnya Inconel) yang tahan panas tinggi, dipakai dalam industri penerbangan (badan pesawat, turbin jet).
Baterai Kendaraan Listrik (EV): Nikel menjadi bahan penting di katoda baterai lithium-ion kelas NMC (Nickel-Manganese-Cobalt) dan NCA (Nickel-Cobalt-Aluminium) yang digunakan di banyak mobil listrik dan penyimpanan energi. Permintaan nikel melonjak berkat revolusi kendaraan listrik; IEA memproyeksikan kebutuhan nikel global meningkat puluhan kali lipat hingga 2040 karena perluasan industri EV.
Pelapisan (Plating) dan Uang Logam: Sisanya (~23%) untuk pelapisan nikel anti korosi, uang logam, serta katalis dan bahan kimia industri lain.
Karena alasan-alasan di atas, nikel menjadi komoditas strategis. Ketersediaan nikel mempengaruhi industri besar seperti otomotif dan manufaktur logam. Tren kendaraan listrik mendorong negara-negara berlomba mengamankan pasokan nikel. Sebagai contoh, Indonesia menutup ekspor bijih nikel mentah mulai 2020 untuk memaksa hilirisasi dalam negeri.
Indonesia adalah produsen nikel terbesar dunia dan memiliki cadangan nikel terbesar. Menurut Rencana Pengelolaan Minerba Nasional, Indonesia menyimpan sekitar 23% cadangan nikel dunia dan menyumbang 29% produksi global. Total cadangan nikel Indonesia diperkirakan mencapai 5,2 miliar ton bijih (sekitar 57 juta ton nikel logam). Berkat sumber daya ini, Indonesia secara konsisten memimpin produksi nikel global.
Selain Indonesia, negara-negara lain dengan cadangan dan produksi nikel besar meliputi:
Brasil – Cadangan ~16 juta ton nikel (peringkat ketiga dunia). Produksinya (2023) sekitar 89.000 ton.
Australia – Cadangan ~14 juta ton nikel (kedua dunia). Produksi 2023 sekitar 160.000 ton.
Rusia – Cadangan ~8,3 juta ton nikel. Produksi 2023 sekitar 200.000 ton.
Kaledonia Baru – Cadangan ~7,1 juta ton nikel (produksi 230.000 ton pada 2023).
Filipina – Cadangan ~4,8 juta ton, produksi 2023 sekitar 400.000 ton.
China – Cadangan ~4,2 juta ton, produksi 2023 sekitar 110.000 ton.
Kanada – Cadangan ~2,2 juta ton, produksi 2023 sekitar 180.000 ton.
Tabel berikut merangkum cadangan nikel beberapa negara utama:
Negara | Cadangan Nikel (ton) |
---|---|
Indonesia | 57 juta |
Brasil | 16 juta |
Australia | 14 juta |
Rusia | 8,3 juta |
Kaledonia Baru | 7,1 juta |
China | 4,2 juta |
Filipina | 4,8 juta |
Dari segi produksi, Indonesia (sekitar 1 juta ton/an) jauh mengungguli negara lain, diikuti Filipina, Rusia, Kanada, dan Australia (masing-masing puluhan hingga ratus ribu ton per tahun).
Di Indonesia sendiri, bijih nikel banyak tersebar di daerah tropis dengan endapan laterit. Lokasi utama tambang nikel Indonesia termasuk Sulawesi (khususnya Sulawesi Tengah dan Tenggara), Maluku Utara (termasuk Halmahera dan Weda Bay), Papua (termasuk Raja Ampat) dan Kalimantan. Wilayah-wilayah ini dulunya ditutupi hutan hujan lebat, tetapi saat ini sebagian besar telah bertransformasi menjadi lahan pertambangan dan smelter nikel.
Sebagai contoh, Morowali (Sulawesi Tengah) adalah salah satu pusat industri nikel terbesar, dengan puluhan smelter feronikel mendukung hilirisasi nikel. Hasil olahan nikel dari Morowali dan Sulawesi lainnya menyumbang ekspor baja tahan karat dan feronikel milyaran dolar. Industri nikel di Indonesia terus berkembang seiring kebijakan pengolahan dalam negeri dan permintaan global yang meningkat.
Meskipun bermanfaat secara ekonomi, penambangan nikel dapat merusak lingkungan jika tidak dikelola dengan hati-hati. Beberapa dampak negatifnya antara lain:
Penggundulan Hutan dan Deforestasi: Pembukaan lahan untuk tambang nikel (termasuk area tambang dan fasilitas pendukung) seringkali melibatkan penebangan hutan tropis. Greenpeace melaporkan eksploitasi nikel di beberapa pulau Raja Ampat telah menghancurkan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi. Hutan yang ditebang tidak hanya menghilangkan habitat satwa, tetapi juga mengurangi kemampuan menyerap karbon dan menjamin kestabilan ekosistem.
Sedimentasi Lumpur ke Laut: Batu dan tanah hasil penggalian tambang nikel mudah tererosi saat hujan, terbawa aliran air ke laut lepas. Lumpur berlebih ini menutupi terumbu karang, menghalangi sinar matahari penting bagi fotosintesis karang. Jika terumbu karang mati, akan terjadi penurunan drastis jumlah ikan dan biota laut lainnya yang hidup di ekosistem tersebut. Masyarakat pesisir yang bergantung pada perikanan dan pariwisata bahari pun terancam kehilangan mata pencaharian.
Pencemaran Air dan Logam Berat: Air tambang dan tailing (limbah padat) dari proses pengolahan nikel sering mengandung logam berat (termasuk nikel itu sendiri) serta bahan kimia berbahaya. Kontaminasi ini dapat mencemari sungai, rawa, dan laut sekitar tambang. Ikan dan terumbu yang terpapar logam berat berpotensi terakumulasi racun, membahayakan kesehatan manusia yang mengonsumsinya. Sumber [53] menegaskan bahwa limbah nikel dapat mengganggu keseimbangan ekosistem laut dan kesehatan masyarakat.
Kerusakan Terumbu Karang dan Kehidupan Laut: Selain sedimentasi dan polusi, pengoperasian tambang dekat pantai dapat secara langsung merusak terumbu karang, merusak kawasan konservasi laut. Aktivitas reklamasi untuk lokasi tambang di pesisir menyebabkan hilangnya habitat dasar laut. Dalam kasus Raja Ampat, lembaga konservasi seperti Greenpeace dan YKAN menyatakan bahwa aktivitas nikel di pulau Gag, Kawe, dan Manuran mengancam kelangsungan ekosistem karang yang sangat kaya.
Gangguan pada Masyarakat Adat dan Budaya Lokal: Penduduk setempat, khususnya masyarakat adat pesisir, sering mendapati wilayah tinggal dan tradisi mereka terancam. Misalnya suku nomaden penangkap ikan Hongana Manyawa melaporkan pulau tempat tinggal mereka “akan habis dimakan” oleh tambang di Weda Bay. Jika tambang beroperasi tanpa kontrol, hak-hak masyarakat adat dan keberlanjutan ekonomi lokal dapat dirugikan.
Potensi Bencana Ekologis: Akumulasi sampah tambang (tailing) dan kontaminasi yang tidak terkendali bisa menyebabkan krisis ekologis jangka panjang. Sebuah laporan Climate Rights International menuding pemerintah membiarkan kerusakan akibat tambang nikel tanpa pengawasan ketat. Kegagalan mengelola limbah tambang dapat memicu masalah kesehatan masyarakat dan kehancuran ekosistem luas.
Secara singkat, “tambang nikel merusak bumi” karena menimbulkan deforestasi, sedimentasi sungai dan laut, serta polusi logam berat yang mengancam keanekaragaman hayati dan kesejahteraan manusia di sekitarnya.
Kelestarian laut dan hutan tropis, terutama di kawasan sensitif seperti Geopark Raja Ampat, sangat rentan jika industri nikel berjalan tanpa penerapan standar lingkungan yang ketat.
Raja Ampat (Papua Barat Daya) adalah gugusan pulau karst terkenal dengan keanekaragaman hayati laut tinggi. Namun dalam beberapa tahun terakhir, isu tambang nikel di sana memicu keprihatinan publik. Pada Juni 2025, pemerintah mencabut izin empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat karena dikhawatirkan merusak lingkungan.
Dari lima izin di wilayah itu, hanya PT Gag Nikel (anak usaha Antam) yang dibiarkan beroperasi karena lokasinya dianggap berada di luar batas geopark. Langkah ini disambut baik oleh aktivis yang menuntut “#SaveRajaAmpat”.
Munculnya video dan foto kerusakan di beberapa pulau Raja Ampat viral di media sosial, memicu aksi protes. Greenpeace Indonesia merilis cuplikan pertambangan di pulau Gag, Kawe, dan Manuran, memperlihatkan cekungan gundul dan limbah tambang.
Ditambah klaim awal bahwa pulau Wayag atau Piaynemo “digunduli” oleh tambang, membuat #SaveRajaAmpat ramai dibicarakan. Namun, beberapa gambar satelit tersebut ternyata palsu (AI-generated). Data terbaru menunjukkan pulau Wayag masih hijau tanpa tambang; yang terkena aktivitas justru Gag dan Kawe.
Pemerintah menegaskan bahwa wilayah tambang telah diawasi Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan pencabutan izin bertujuan “melindungi kehidupan laut dan konservasi”. Namun aktivis dan masyarakat lokal menuntut tindakan lebih tegas.
Walhi dan YKAN mendesak perbaikan regulasi dan moratorium izin tambang di kawasan lindung seperti Raja Ampat. Kasus ini memicu diskusi luas, bagaimana menyeimbangkan kebutuhan mineral nikel dengan perlindungan alam Indonesia yang kaya keanekaragaman.
Kini isu tambang nikel tidak hanya masalah ekonomi, tetapi juga isu sosial lingkungan. Pemerintah Indonesia berlomba memajukan hilirisasi industri nikel (smelter, baterai EV, dll.) untuk meningkatkan nilai tambah, tetapi di saat yang sama harus menghormati kawasan konservasi. Aktivitas nikel yang berkelanjutan mensyaratkan teknologi pengolahan bersih, pengawasan ketat, dan keterlibatan masyarakat.
Sebagai pembaca dan netizen Indonesia, penting memahami bahwa nikel memiliki nilai strategis tinggi, namun tambangnya dapat menimbulkan kerusakan lingkungan serius jika tidak dikelola benar. Di satu sisi, nikel dibutuhkan untuk komoditas penting (stainless steel, baterai EV). Di sisi lain, reklamasi tambang di ekosistem rapuh seperti Raja Ampat berisiko menghancurkan hutan, terumbu karang, dan mata pencaharian nelayan.
Dalam praktiknya, menjaga keindahan alam Raja Ampat sekaligus memanfaatkan sumber daya nikel adalah tantangan besar. Solusinya melibatkan riset dan investasi ke teknologi pertambangan ramah lingkungan (misalnya sistem pengendalian sedimentasi dan penanganan limbah yang aman). Namun yang terpenting, kawasan sensitif seperti Geopark Raja Ampat harus bebas dari tambang skala besar. Tekanan publik dan kebijakan tegas seperti pencabutan izin merupakan bagian dari proses menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan ekologi.
Kesimpulannya, nikel adalah logam penting dengan beragam manfaat industri, tetapi eksploitasi nikel harus dilakukan hati-hati. Masyarakat Indonesia perlu mendapat informasi lengkap dan terus mengawal aktivitas tambang nikel agar tidak merusak lingkungan. Dengan kesadaran bersama, kita berharap pengelolaan nikel tetap mengutamakan kelestarian alam terutama di kawasan berharga seperti Raja Ampat agar generasi mendatang masih dapat menikmati pulau-pulau eksotis dan lautnya yang kaya kehidupan.
Sumber :